Hari hampir senja. Kami berdiri pada tanah yang sama. Aku menghadap tepat kearah matahari, sementara ia tepat berada di belakangku. Aku memang tak yakin ke arah mana ia menghadap. Tapi aku dapat memastikan bahwa kepala kami dalam posisi yang sama−menunduk.
Diluar itu aku benar-benar tak peduli. Hanya ingin begini, di hari-yang-hampir-petang ini, di tanah ini. Sebenarnya aku penat akan apa yang ada. Tak ada yang benar-benar kuidamkan selain berada dalam kesendirian, dalam sebuah perenungan pribadi. Tapi ternyata Tuhan tak mengabulkan keinginanku ini. Tuhan menempatkan aku berdua dengannya disini sekarang. Sementara aku tak kuasa menolak.
“Kenapa kau diam saja?”, tanyaku memecah sunyi. “Aku hanya hanya bicara saat kau bicara. Aku hanya bergerak saat kau bergerak. Terlepas dari itu, tentu aku diam.”, jawabnya pelan. “Aku tidak habis pikir. Bagaimana bisa kau menjadi seperti itu.”, balasku tak acuh. “Benarkah? Habiskah pikirmu? Padahal aku cukup yakin kau tidak pernah punya cukup hirau untuk memikirkanku.”, jawabnya datar. Mendengar jawabannya aku hanya bisa bisu. Aku mengamini ucapannya itu.
“Jadi tentu kau maklum atas semua tindak-tandukku bukan?”, aku melontarkan pertanyaan yang−aku sendiri anggap−bodoh. “Bagaimana mungkin aku tidak tahu atas semua kelakuanmu? Aku menjadi saksi atas apa yang kau lihat. Aku mengikuti jejak kaki yang engkau buat. Aku selalu mengikuti dan memperhatikanmu!”. Aku merasa semakin bodoh, juga merasa bersalah.
“Aku malu.”, ucapku lirih. “Tentu. Sudah sepatutnya.”, timpalnya. Darahku mendidih mendengar ucapannya itu. Ingin rasanya aku langsung membalik badanku, menghampirinya, dan mencekik lehernya. Aku benar-benar muak akan jawaban dan sikapnya yang tidak membantu. Malahan, hanya semakin membuat posisiku tersudut. Badanku bergetar menahan amarah yang hampir memecahkan kepalaku. Tapi aku bergeming. Diam dalam senja jingga.
“Kenapa gigimu gemeletuk?”, ia bertanya padaku. Tentu pertanyaan itu membuatku semakin ingin mengoyak mulutnya. “Dengar! Aku muak dengan dengan semua celotehan sok sucimu itu! Simpan saja untuk dirimu sendiri sebagai pertanggung jawaban di muka Tuhanmu!”, bentakku dengan setengah berteriak. “Hey. Jangan pikir kalu aku suka membuntutimu, atau aku menikmati perjalanku selama ini.”, ujarnya hampir tanpa emosi. Aku membayangkan wajahnya yang seolah mengolok-olokku saat berkata seperti itu.
Petang datang. Matahari tenggelam. Cahaya padam. Nafsuku memburu.
Mataku lebih gelap daripada tempat ini. Hayatnya harus habis petang ini. Tanganku yang menjadi penggaris ajalnya. Aku meyakinkan Tuhan bahwa akulah Izrail.
Seketika aku membalikkan badanku ke arahnya. “Lalu berhenti mengikutiku! Aku mengasihanimu! Kasihku ini yang akan membuatmu baka!”. Aku menjerit sejadinya. Mataku terpejam paksa, tangan-tanganku mengepal erat , urat-urat leherku merentang kuat. Aku langsung membuka mataku dan akan langsung malaksanakan tugas muliaku ini. Namun mendadak napasku mati, lidahku kelu, mataku nanar. Ia lenyap.
“Sungguh bukan keinginanku untuk menjadi seperti ini. Tapi kodrat azali menggariskan beginilah tata cara keberadaanku di darulfana.”, suaranya tiba-tiba terdengar kembali. “Tidak perlu kau mempertanyakan alasannya. Kau sendiri tahu jelas bagaimana rasanya saat kau mendebat Tuhan dengan pernyataan ‘Tapi bukankah aku tak pernah memilih untuk diciptakan oleh-Mu? Bukankah aku tak pernah memilih hidup dengan raga ini? Lalu mengapa Kau takdirkan aku untuk menjadi semacam ini, Tuhan?!’, bukan?”. Aku tak tahu dari mana asal suaranya. Ia seolah muncul dari segala penjuru. Suaranya seperti begitu jauh, tapi seolah memenuhi rongga-rongga kepalaku. Aku limbung. Aku jatuh terduduk.
“Kau mengikuti Cahaya, dan Aku mengikutimu. Aku diam saat kau tak bergerak, dan Aku bergerak saat kau tak diam. Tanganku menyentuh apa yang kau sentuh. Kakiku menapak pada jejak yang sama dengan yang kakimu pijak. Kau muncul dari ketiadaan, Aku pun begitu. Dan saat kau ada, Aku pun nyata. Aku saksi hidupmu. Aku mengikutimu, dan akan terus begitu hingga jasadmu dimakan belatung.”
Malam larut dengan pekat. Aku menarik kedua lututku ke dada. Mencoba menghibur diri saat tengah ditelanjangi. Entah cairan macam apa yang muncul di mataku, dan yang pasti aku tidak menyukainya. Mataku memanas.
“Keberadaanku akibat dari ketidakadaan. Saat Cahaya hilang, maka Aku datang. Dan saat Cahaya terang, Aku menghilang.”
Mataku seolah buta. Kelopak mataku sudah kehilangan maknanya. Terbuka atau tertutup pun sama saja. Kutelungkupkan kedua telapak tangan di wajahku. Seandainya ia bisa melihatku, aku ingin menyembunyikan malu.
“Aku nyata selama kau ada. Semakin terik Cahaya, makin pekatlah Aku. Serupalah tingkahmu dengan lakuku. Namun jangan kira Aku lenyap saat kau menjauh dari Cahaya. Karena Aku melihatmu sementara kau tidak sebaliknya. Karena Aku menyelimutimu sementara kau tak menyadarinya. Malulah, selagi hatimu tidak cukup gulita untuk melihat.”
Aku terhenyak. Mataku mengerjap. Fajar memerah. Perlahan aku merebah.
Air embun menetes di ujung tandan. Air mata pun begitu.


