Jumat, 15 April 2011

Umbra


Hari hampir senja. Kami berdiri pada tanah yang sama. Aku menghadap tepat kearah matahari, sementara ia tepat berada di belakangku. Aku memang tak yakin ke arah mana ia menghadap. Tapi aku dapat memastikan bahwa kepala kami dalam posisi yang sama−menunduk.
Diluar itu aku benar-benar tak peduli. Hanya ingin begini, di hari-yang-hampir-petang ini, di tanah ini. Sebenarnya aku penat akan apa yang ada. Tak ada yang benar-benar kuidamkan selain berada dalam kesendirian, dalam sebuah perenungan pribadi. Tapi ternyata Tuhan tak mengabulkan keinginanku ini. Tuhan menempatkan aku berdua dengannya disini sekarang. Sementara aku tak kuasa menolak.
“Kenapa kau diam saja?”, tanyaku memecah sunyi. “Aku hanya hanya bicara saat kau bicara. Aku hanya bergerak saat kau bergerak. Terlepas dari itu, tentu aku diam.”, jawabnya pelan. “Aku tidak habis pikir. Bagaimana bisa kau menjadi seperti itu.”, balasku tak acuh. “Benarkah? Habiskah pikirmu? Padahal aku cukup yakin kau tidak pernah punya cukup hirau untuk memikirkanku.”, jawabnya datar. Mendengar jawabannya aku hanya bisa bisu. Aku mengamini ucapannya itu.
“Jadi tentu kau maklum atas semua tindak-tandukku bukan?”, aku melontarkan pertanyaan yang−aku sendiri anggap−bodoh. “Bagaimana mungkin aku tidak tahu atas semua kelakuanmu? Aku menjadi saksi atas apa yang kau lihat. Aku mengikuti jejak kaki yang engkau buat. Aku selalu mengikuti dan memperhatikanmu!”. Aku merasa semakin bodoh, juga merasa bersalah.
“Aku malu.”, ucapku lirih. “Tentu. Sudah sepatutnya.”, timpalnya. Darahku mendidih mendengar ucapannya itu. Ingin rasanya aku langsung membalik badanku, menghampirinya, dan mencekik lehernya. Aku benar-benar muak akan jawaban dan sikapnya yang tidak membantu. Malahan, hanya semakin membuat posisiku tersudut. Badanku bergetar menahan amarah yang hampir memecahkan kepalaku. Tapi aku bergeming. Diam dalam senja jingga.
“Kenapa gigimu gemeletuk?”, ia bertanya padaku. Tentu pertanyaan itu membuatku semakin ingin mengoyak mulutnya. “Dengar! Aku muak dengan dengan semua celotehan sok sucimu itu! Simpan saja untuk dirimu sendiri sebagai pertanggung jawaban di muka Tuhanmu!”, bentakku dengan setengah berteriak. “Hey. Jangan pikir kalu aku suka membuntutimu, atau aku menikmati perjalanku selama ini.”, ujarnya hampir tanpa emosi. Aku membayangkan wajahnya yang seolah mengolok-olokku saat berkata seperti itu.
Petang datang. Matahari tenggelam. Cahaya padam. Nafsuku memburu.
Mataku lebih gelap daripada tempat ini. Hayatnya harus habis petang ini. Tanganku yang menjadi penggaris ajalnya. Aku meyakinkan Tuhan bahwa akulah Izrail.
Seketika aku membalikkan badanku ke arahnya. “Lalu berhenti mengikutiku! Aku mengasihanimu! Kasihku ini yang akan membuatmu baka!”. Aku menjerit sejadinya. Mataku terpejam paksa, tangan-tanganku mengepal erat , urat-urat leherku merentang kuat. Aku langsung membuka mataku dan akan langsung malaksanakan tugas muliaku ini. Namun mendadak napasku mati, lidahku kelu, mataku nanar. Ia lenyap.
“Sungguh bukan keinginanku untuk menjadi seperti ini. Tapi kodrat azali menggariskan beginilah tata cara keberadaanku di darulfana.”, suaranya tiba-tiba terdengar kembali. “Tidak perlu kau mempertanyakan alasannya. Kau sendiri tahu jelas bagaimana rasanya saat kau mendebat Tuhan dengan pernyataan ‘Tapi bukankah aku tak pernah memilih untuk diciptakan oleh-Mu? Bukankah aku tak pernah memilih hidup dengan raga ini? Lalu mengapa Kau takdirkan aku untuk menjadi semacam ini, Tuhan?!’, bukan?”. Aku tak tahu dari mana asal suaranya. Ia seolah muncul dari segala penjuru. Suaranya seperti begitu jauh, tapi seolah memenuhi rongga-rongga kepalaku. Aku limbung. Aku jatuh terduduk.
“Kau mengikuti Cahaya, dan Aku mengikutimu. Aku diam saat kau tak bergerak, dan Aku bergerak saat kau tak diam. Tanganku menyentuh apa yang kau sentuh. Kakiku menapak pada jejak yang sama dengan yang kakimu pijak. Kau muncul dari ketiadaan, Aku pun begitu. Dan saat kau ada, Aku pun nyata. Aku saksi hidupmu. Aku mengikutimu, dan akan terus begitu hingga jasadmu dimakan belatung.”
Malam larut dengan pekat. Aku menarik kedua lututku ke dada. Mencoba menghibur diri saat tengah ditelanjangi. Entah cairan macam apa yang muncul di mataku, dan yang pasti aku tidak menyukainya. Mataku memanas.
“Keberadaanku akibat dari ketidakadaan. Saat Cahaya hilang, maka Aku datang. Dan saat Cahaya terang, Aku menghilang.”
Mataku seolah buta. Kelopak mataku sudah kehilangan maknanya. Terbuka atau tertutup pun sama saja. Kutelungkupkan kedua telapak tangan di wajahku. Seandainya ia bisa melihatku, aku ingin menyembunyikan malu.
“Aku nyata selama kau ada. Semakin terik Cahaya, makin pekatlah Aku. Serupalah tingkahmu dengan lakuku.  Namun jangan kira Aku lenyap saat kau menjauh dari Cahaya. Karena Aku melihatmu sementara kau tidak sebaliknya. Karena Aku menyelimutimu sementara kau tak menyadarinya. Malulah, selagi hatimu tidak cukup gulita untuk melihat.”
Aku terhenyak. Mataku mengerjap. Fajar memerah. Perlahan aku merebah.
Air embun menetes di ujung tandan. Air mata pun begitu.



Kamis, 14 April 2011

Cappuccino

Pukul 20:23. Itu yang arlojiku tunjukkan ketika aku meliriknya, sesaat setelah aku tiba di ambang pintu selasar café itu. Bergegaslah aku masuk untuk menghindari gerimis yang mulai turun. Berdiri terdiam sejenak, memandang sekeliling, dan tanpa berpikir panjang aku menuju sebuah meja yang ada di sudut belakang selasar.

 Tak ada yang cukup istimewa dari tempat ini. Seperti halnya café-café lain pada umumnya, tempat ini juga menawarkan meja dan kursi, lampu temaram, dan tentu saja secangkir kopi dengan bitterballen-nya. Banyak orang menyukai tempat ini karena menurut mereka tempat ini memiliki atmosphere, ke-cozy-an, kehangatan, atau apalah istilah-istilah semacam itu yang mereka gunakan. Tapi untukku, hanya sebuah meja dengan dua kursi di sudut belakang selasar yang menjadi favoritku disini. Ya, itu meja yang menjadi tempatku sekarang.

Mejaku ini hanya sebuah meja kayu bundar kecil. Tak bercat, tak ber-furnish, apalagi berornamen. Kedua kursinya pun serupa. Kursi kayu yang alas duduknya bundar, berkaki empat, dan sandaran punggung yang rendah. Diatas meja hanya terdapat sebuah pelita dan sebuah welcome note yang bertuliskan ‘A cup of coffee a day won’t kill you like your cigarette do!’. Aku geli membacanya. Karena kalau tulisan itu benar, tentu aku sudah mati setiap hari!

“Selamat datang! Mau pesan apa, Mas?”, suara seorang waitress tiba-tiba mengagetkanku. “Hmm, saya minta satu cangkir espresso sama satu mug warm milk ya, Mbak!”, aku langsung memesan tanpa melihat buku menu yang ia sodorkan. Setelah waitress itu mencatat pesananku, ia tersenyum dan berlalu.

Kurogoh saku jaketku, mengambil sekotak rokok dan lighter-nya. Kusulut sebatang, dan mengepullah asap dari mulutku, terbang berlalu terbawa angin. Aku larut lagi dalam ingatan waktu ia duduk di depanku. Sesekali ia terbatuk akibat asap yang masuk ke hidungnya. Ia hanya menekuk wajahnya, mungkin ia sudah bosan menceramahiku atau membakar filter rokok yang tersusun rapi di kotaknya. Melihat ulahnya aku hanya terkekeh, dan terus mengisap batang demi batang.

“Silakan, Mas. Ini pesanannya.”, ujar waitress tadi yang sekarang mengantarkan pesananku. Ia tetap tersenyum ramah, meski mungkin ia heran melihat seorang pengunjung yang memesan dua minuman padahal ia hanya sendiri. Aku membalas senyumannya. Aku dekatkan cangkir espresso ke hadapanku dan menjauhkan mug susu hangat ke arah yang berlawanan. Mendekatkan ke arah kursi kosong didepanku.

Waktu itu aku hanya menopang dagu, memperhatikan bagaimana ia menggenggam mug di meja dengan kedua tangannya. Sesekali ia mendekatkan mug yang ia genggam ke wajahnya, ia tiup beberapa kali susu panas didalamnya, lalu meminumnya perlahan.

Entah kenapa tapi aku begitu antusias melihat wajahnya yang bersemangat saat menceritakan kisahnya, saat dahinya tiba-tiba berkerut atau saat tiba-tiba senyumnya terkembang. Aku begitu tertarik mendengarkan celotehnya yang seolah tidak pernah berhenti, meski ceritanya hanya sekadar bagaimana ia berlari-lari mengejar bus atau tentang bagaimana ia terpeleset di kamar mandi tadi pagi. Dan entah kenapa, aku tak pernah bosan.

“Kenapa sih kamu ngerokok terus?”, ia bertanya dengan bersungut-sungut ke arahku. “Biarin.”, jawabku sekenanya. “Terus kenapa kamu selalu mesen susu anget?”, aku balik bertanya padanya. “Anak sapi aja bisa tumbuh sehat gara-gara minum susu! Apa jadinya kalo anak sapi dikasih minum kopi kayak kamu coba?!”. Aku tertawa mendengar jawabannya yang tidak relevan itu. Melihat reaksiku, tentu ia semakin bersungut-sungut. Aku pun berusaha menahan tawaku.

“Kita tuh beda banget ya?”, tiba-tiba ia berkata dengan datar. Aku memicingkan mataku. “Kok tiba-tiba ngomong gitu?”, aku bertanya heran. “Ga apa-apa kok.”, ia tersenyum. “Kamu ga suka ya sama perbedaan-perbedaan yang kita punya?”, tanyaku. “Kata siapa? Justru aku seneng kita beda!”, jawabnya dengan tersenyum lebar. Mendengar jawabannya itu aku hanya bisa mengangkat sebelah alisku. “ Dunia indah karena warna, dan warna ada karena berbeda. Kalo semua orang sama semua,then the sky must be grey!”, ia melihat jauh kedalam mataku, dan aku semakin tidak mengerti.

Aku kembali tersadar. Di hadapanku hanya ada kursi kosong. Tak ada sepasang tangan yang biasa menggenggam mug susu itu. Cangkir kopiku pun belum tersentuh.

Mendadak aku menggamit lengan waitress yang lewat disebelahku. “Mbak, saya pesan cappuccino!”, aku memesan seperti orang kesetanan. “Oh, iya, Mas! Tunggu sebentar!”, jawab waitress itu terkaget. Mungkin ia terkejut karena pengunjung aneh yang sama tiba-tiba menggamit lengannya. Aku tak peduli. Aku tak dapat menyembunyikan wajahku yang sepertinya overexcited ini.

Tak berapa lama pesananku sudah tersaji di meja. Secangkir cappuccino dengan foam lembut diatasnya, mengepul hangat. Aku tersenyum.

Aku tersadar, ternyata apa yang berbeda tak selamanya tak bisa bersatu. Seperti halnya satu shotespresso yang keras dengan secangkir susu hangat yang lembut, ternyata bisa berpadu menjadi suatu hal yang baru. Menjadi sesuatu yang tak lembut membuai namun tak keras menghantam. Ia menjadi sesuatu yang berciri sendiri, tanpa perlu berbayang pada ciri tertentu lainnya.

Gerimis berubah menjadi hujan. Orang-orang riuh rendah. Meski cangkir dan mug di mejaku mendingin, aku tak perlu menyesali.

Dan aku mulai mengerti.